Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 1974
Tentang
Perkawinan
DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
Bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita
untuk pembinaan hukum nasional, perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan
yang berlaku bagi semua warga negara.
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), pasal 20 ayat (1) dan pasal 29 Undang-undang Dasar 1945.
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973.
Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
M E M U T U S K A N:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PERKAWINAN
BAB I
DASAR PERKAWINAN
Pasal 1
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal 2
(1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 3
(1) Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki
seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami.
(2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang
suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak
yang bersangkutan.
Pasal 4
(1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari
seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia
wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya
memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. istri tidak dapat
memnjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.
b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5
(1) Untuk dapat
mengajukan permohonan ke Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1)
Undang-undang ini harus memenuhi syarat-syarat berikut:
a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin
keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
c. adanya
jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak
mereka.
(2) Persetujuan yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a
pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya
tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam
perjanjian;atau apabila tidak ada kaber dari istrinya selama sekurang-kurangnya
2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian
dari Hakim Pengadilan.
BAB II
SYARAT-SYARAT PERKAWINAN
Pasal 6
(1) Perkawinan didasarkan
atas persetujuan kedua calon mempelai.
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
(3) Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal
dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang
dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup
atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
(4) dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia
atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin
diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan
darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam
keadaan menyatakan kehendaknya.
(5) Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang
dimaksud dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih
diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah
tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang
tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang
tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal ini.
(6) Ketentuan tersebut
ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukun masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Pasal 7
(1) Perkawinan hanya
diizinkan bila piha pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak
wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun.
(2) Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.
(3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6).
(2) Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.
(3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6).
Pasal 8
Perkawinan dilarang
antara dua orang yang:
a. berhubungan darah dalan garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas;
b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan seorang saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;
d. berhubungan susuan, anak susuan, saudara dan bibi/paman susuan;
a. berhubungan darah dalan garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas;
b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan seorang saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;
d. berhubungan susuan, anak susuan, saudara dan bibi/paman susuan;
e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi
atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari
seorang;
f. yang mempunyai
hubungan yang oleh agamanya atau praturan lain yang berlaku dilarang kawin.
Pasal 9
Seorang yang terikat tali perkawinan dengan orang lain
tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2)
dan dalam Pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal 10
Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi
satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara
mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum,
masing-masing agama dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak menentukan
lain.
Pasal 11
(1) Bagi seorang yang
putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
(2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut.
(2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut.
Pasal 12
Tata cara perkawinan
diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.
BAB III
PENCEGAHAN PERKAWINAN
Pasal 13
Perkawinan dapat dicegah apabila ada orang yang tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Pasal 14
(1) Yang dapat mencegah perkawinan adalah para
keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah,
wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang
berkepentingan.
(2) Mereka yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini
berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon
mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut
nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lain, yang
mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti yang tersebut dalam ayat (1)
pasal ini.
Pasal 15
Barang siapa yang karena perkawinan dirinya masih
terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya
perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru dengan tidak mengurangi ketentuan
pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal 16
Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah
berlangsungnya perkawinan apabila ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1),
Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 12 Undang-undang ini tidak dipenuhi.
Pasal 17
(1) Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan
dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan
juga kepada pegawai pencatat perkawinan.
(2) Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai
permohonan pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini oleh pegawai
pencatat perkawinan.
Pasal 18
Pencegahan perkawinan
dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik kembali permohonan
pencegahan pada Pengadilan oleh yang mencegah.
Pasal 19
Perkawinan tidak dapat
dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut.
Pasal 20
Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan
melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya
pelanggaran dari ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9< Pasal
10, dan Pasal 12 Undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.
Pasal 21
(1) Jika pegawai pencatat
perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut
Undang-undang ini, maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan.
(2) Di dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu
pihak yang ingin melangsungkan perkawinan yang oleh pegawai pencaatat
perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakkan tersebut
disertai dengan alasan-alasan penolakannya.
(3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak
mengajukan permohonan kepada Pengadilan di dalam wilayah mana pegawai pencatat
perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan putusan,
dengan menyerahkan surat keterangan penolakkan tersebut di atas.
(4) Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara
singkat dan akanmemberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakkan
tersebut ataukah memerintahkan, agar supaya perkawinan dilangsungkan.
(5) Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika
rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan pada pihak
yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahukan tentang maksud mereka.
BAB IV
BATALNYA PERKAWINAN
Pasal 22
Perkawinan dapat
dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan
perkawinan.
Pasal 23
Yang dapat mengajukan
Pembatalan perkawinan yaitu:
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri.
b. Suami atau isteri.
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan.
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri.
b. Suami atau isteri.
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan.
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Pasal 24
Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya
dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan
dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi
ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal 25
Permihonan pembatalan perkawinan diajukan kepada
Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan ditempat tinggal
kedua suami isteri, suami atau isteri.
Pasal 26
(1) Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai
pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang
dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan
pembatalannya oleh keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau
isteri, jaksa dan suami atau isteri.
(2) Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri
berdasrkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka setelah hidup
bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang
tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.
Pasal 27
(1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan
permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah
ancaman yang melanggar hukum.
(2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan
permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan
terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
(3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah
sangka itu telah menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan
setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan
haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
Pasal 28
(1) Batalnya suatu
perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang
tetap dan berlaku sejak berlangsungnya perkawinan.
(2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap :
a. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
(2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap :
a. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
b. suami atau isteri yang bertindak
dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama bila pembatalan perkawinan
didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.
c. Orang-orang ketiga lainnya
termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik
sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
BAB V
PERJANJIAN PERKAWINAN
Pasal 29
(1) Pada waktu atau
sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama
dapat mengajukan perjanjian tertilis yang disahkan oleh pegawai pencatat
perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut.
(2) Perkawinan tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
(3) Perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
(4) Selama perkawinan dilangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
(2) Perkawinan tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
(3) Perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
(4) Selama perkawinan dilangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI-ISTERI
Pasal 30
Suami-isteri memikul kewajiban yang luhur untuk
menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat.
Pasal 31
(1) Hak dan kedudukan
isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah
tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
(3) Suami adalah Kepala Keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
(3) Suami adalah Kepala Keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
Pasal 32
(1) Suami-isteri harus
mempunyai tempat kediaman yang tetap.
(2) Rumah tempat kediaman yang dimaksudkan dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami-isteri bersama.
(2) Rumah tempat kediaman yang dimaksudkan dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami-isteri bersama.
Pasal 33
Suami isteri wajib saling
saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir
bathin yang satu kepada yang lain.
Pasal 34
(1) Suami wajib
melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah
tangga sesuai dengan kemampuannya. (2) Isteri wajib mengatur urusan
rumah-tangga sebaik-baiknya. (3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya
masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.
BAB VII
HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN
Pasal 35
(1) Harta benda yang
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri
dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan,
adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan
lain.
Pasal 36
(1) Mengenai harta
bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami isteri
mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta
bendanya.
Pasal 37
Bila perkawinan putus
karena perceraian, harta benda diatur menurut hukumnya masing-masing.
BAB VIII
PUTUSNYA PERKAWINAN SERTA AKIBATNYA
Pasal 38
Perkawinan dapat putus
karena:
a. Kematian,
b. Perceraian dan
c. atas keputusan Pengadilan.
a. Kematian,
b. Perceraian dan
c. atas keputusan Pengadilan.
Pasal 39
(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang
Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.
(2) Untuk melakukan
perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat
rukun sebagai suami isteri.
(3) Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersebut.
(3) Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersebut.
Pasal 40
(1) Gugatan perceraian
diajukan kepada Pengadilan.
(2) Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
(2) Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
Pasal 41
Akibat putusnya
perkawinan karena perceraian ialah:
a. Baik ibuatau bapak tetap berkewajiban memelihara
dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana
ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya
pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilaman bapak dalam
kenyataannya tidak dapt memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan
bahwa ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
BAB IX
KEDUDUKAN ANAK
Pasal 42
Anak yang sah adalah anak
yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Pasal 43
(1) Anak yang dilahirkan
di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya.
(2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
(2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 44
(1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang
dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah
berzina dan anak itu akibat dari perzinaan tersebut.
(2) Pengadilan memberikan keputusan tentang
sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.
BAB X
HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN
ANAK
Pasal 45
(1) Kedua orang tua wajib
memelihara dan menddidik anak-anak mereka sebaik-baiknya
(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1)
pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban
mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Pasal 46
(1) Anak wajib
menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik.
(2) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bnila mereka itu memerlukan bantuannya.
(2) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bnila mereka itu memerlukan bantuannya.
Pasal 47
(1) Anak yang belum
mencapai umur 18 ( delapan belas ) tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari
kekuasaannya.
(2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.
(2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.
Pasal 48
Orang tua tidak
diperbolehkan memindahkan hak atau menggandakan barang-barang tetap yang
dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.
Pasal 49
(1) Salah seorang atau
kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih
untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak
dalam garis lurus ke atas dan saidara kandung yang telah dewasa atau pejabat
yang berwenang dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal :
a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
b. Ia berkelakuan buruk sekali.
(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih berkewajiban untuk memberi pemeliharaan kepada anak tersebut.
a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
b. Ia berkelakuan buruk sekali.
(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih berkewajiban untuk memberi pemeliharaan kepada anak tersebut.
BAB XI
PERWAKILAN
Pasal 50
(1) Anak yang belum
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah
kekuasaan wali.
(2) Perwakilan itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.
(2) Perwakilan itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.
Pasal 51
(1) Wali dapat ditunjuk
oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal,
dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi.
(2) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak
tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujurdan
berkelakuan baik.
(3) Wali wajib mengurus
anak yang di bawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya dengan
menghormati agama dan kepercayaan itu.
(4) Wali wajib membuat daftar harta benda yang berada
di bawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua
perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu.
(5) Wali bertanggung
jawab tentang harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya serta kerugian
yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya.
Pasal 52
Terhadap wali berlaku
juga pasal 48 Undang-undang ini.
Pasal 53
(1) Wali dapat di cabut dari kekuasaannya, dalam
hal-hal yang tersebut dalam pasal 49 Undang-undang ini.
(2) Dalam hal kekuasaan
seorang wali dicabut, sebagaimna dimaksud pada ayat (1) pasal ini oleh
Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali.
Pasal 54
Wali yang telah
menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang di bawah kekuasaannya, atas
tuntutan anak atau keluarga tersebut dengan keputisan Pengadilan, yang
bersangkutan dapat di wajibkan untuk mengganti kerugian tersebut.
BAB XII
KETENTUAN-KETENTUAN LAIN
Bagian Pertama Pembuktian Asal-usul Anak
Pasal 55
(1) Asal usul seorang
anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang authentik, yang
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
(2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
(3) atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) ini, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
(2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
(3) atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) ini, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
Bagian Kedua
Perkawinan di Luar Indonesia
Pasal 56
(1) Perkawinan di Indonesia antara dua orang
warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warga negara
Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana
perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar
ketentuan Undang-undang ini.
(2) Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami istri itu
kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan
di Kantor Pencatat perkawinan tempat tinggal mereka.
Bagian Ketiga Perkawinan Campuran
Pasal 57
Yang dimaksud dengan
perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang
yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarga-negaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Pasal 58
Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang
melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari
suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara
yang telah ditentukan dalam Undang-undang Kewarganegaraan Republik Indonesia
yang berlaku.
Pasal 59
(1) Kewarganegaraan yang
diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum
yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun hukum perdata.
(2) Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-undang perkawinan ini.
(2) Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-undang perkawinan ini.
Pasal 60
(1) Perkawinan campuran
tidak dapat dilaksanakan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang
ditentukan oleh pihak masing-masing telah dipenuhi.
(2) Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut
dalam ayat (1) telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk
melangsungkan perkawinan campuran maka oleh mereka yang menurut hukum yang
berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat
keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi.
(3) Jika pejabat yang
bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas
permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak
beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah
penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak.
(4) Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan tersebut ayat (3).
(5) Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan.
(4) Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan tersebut ayat (3).
(5) Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan.
Pasal 61
(1) Perkawinan campuran
dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang.
(2) Barang siapa yang melangsungkan perkawinan
campuran tampa memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat yang
berwenang surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang disebut
pasal 60 ayat (4) Undang-undang ini dihukum dengan hukuman kurungan
selama-lamanya 1(satu) bulan.
(3) Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat
perkawinan sedangkan ia mengetaui bahwa keterangan atau keputusan pengganti
keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga)
bulan dan dihukum jabatan.
Pasal 62
Dalam perkawinan campuran
kedudukan anak diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat (1) Undang-undang ini.
Bagian Keempat Pengadilan
Pasal 63
(1) Yang dimaksudkan
dengan Pengadilan dalam Undang-undang ini ialah:
a. Pengadilan agama mereka yang beragama Islam.
b. Pengadilan Umum bagi yang lainnya.
(2) Setiap keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum.
a. Pengadilan agama mereka yang beragama Islam.
b. Pengadilan Umum bagi yang lainnya.
(2) Setiap keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum.
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 64
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan
dengan perkawinan yang tejadi sebelum Undang-undang ini berlaku yang dijalankan
menurut peraturan-peraturan lama, adalah sah.
Pasal 65
(1) dalam hal seorang suami beristeri lebih dari
seorang baik berdasarkan hukum lama maupun berdasarkan Pasal 3 ayat (2)
Undang-undang ini maka berlakulah ketentuan-ketentuan berikut:
a. Suami wajib memberikan jaminan hidup yang sama kepada semua isteri dan anaknya;
b. Isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu terjadi;
c. Semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing-masing.
(2) Jika Pengadilan yang memberi izin untuk beristeri lebih dari seorang menurut Undang-undang ini tidak menentukan lain, maka berlakulah ketentuan-ketentuan ayat (1) pasal ini.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 66
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan
dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya
Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (burgelijk Wetboek), Ordinansi Perkawinan Indonesia Kristen
(Huwelijk Ordanantie Christen Indonesia 1933 No.74, Peraturan Perkawinan
Campuran (Regeling op gemeng de Huwelijken S.1898 No. 158), dan Peraturan-peraturan
lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang
ini, dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 67
(1) Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya, yang
pelaksanaanya secara efektif lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
(2) Hal-hal dalam Undang-undang ini yang memerlukan pengaturan pelaksanaan, diatur lebuh lanjut oleh Peraturan Pemerintah.
Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundang Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
(2) Hal-hal dalam Undang-undang ini yang memerlukan pengaturan pelaksanaan, diatur lebuh lanjut oleh Peraturan Pemerintah.
Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundang Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta, pada tanggal 2 Januari 1974
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SOEHARTO JENDERAL TNI.
Diundangkan di Jakarta, pada tanggal 2 Januari
1974
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA R.I
SUDHARMONO, SH. MAYOR JENDERAL TNI.
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1974
NOMOR 1
No comments:
Post a Comment